Purwokerto, LensaWarna.com- Meski hujan deras mengguyur kota Purwokerto, suasana hangat dan penuh tawa justru terasa di Gedung Kesenian Sutedja. malam itu, Komunitas Teater Tubuh LARSENI Panginto bersama Sanggar Seni Panginyongan sukses menghadirkan pementasan komedi bertajuk “GENDHAKAN”, yang menggabungkan unsur cinta, logika, dan humor khas Banyumasan dalam satu panggung penuh warna.
Disutradarai oleh Bambang Wadoro, atau yang akrab disapa Bador Kayu, pertunjukan ini menjadi refleksi sosial yang dikemas ringan namun sarat makna. Ceritanya tak sekadar mengundang tawa, tetapi juga menyentuh sisi emosional penonton melalui kisah tentang hubungan, kesetiaan, dan dilema antara hati dan akal.

“Gendhakan bukan cuma soal perselingkuhan, tapi tentang bagaimana manusia kadang tersesat di antara logika dan rasa,” ujar Bador Kayu. “Kami ingin penonton pulang dengan tawa, tapi juga dengan sesuatu untuk direnungkan.”
Panggung yang Hidup dengan Warna Lokal, deretan pemain tampil penuh energi dan karakter. Selvi sebagai Sinah memancarkan pesona lembut namun tegas, sementara Bahrein (Karman) mencuri perhatian lewat kelucuan alami. Duo hansip, Setyo (Kacel) dan Randi (Codot), sukses mengocok perut penonton dengan improvisasi jenaka nan spontan.
Aksi mereka didukung oleh penampilan solid dari Didit Chow, Wahyu (Putu Ne Kaki Peang) sebagai Bonang, Ivaan sebagai Warso, serta Rik dan Agus Kaacel yang memerankan pasangan suami istri dengan dinamika yang dekat dengan keseharian masyarakat. Sementara Joni Jonte sebagai Bapane menghadirkan nuansa klasik teater rakyat yang tetap terasa segar.

Ilustrasi musik garapan Sidik Isi menghidupkan suasana dengan sentuhan tradisional berpadu ritme modern. Tata cahaya rancangan Bagas Suliwa Sentir pun menciptakan atmosfer teatrikal yang memikat, berpindah dari lembut ke dramatis mengikuti dinamika adegan.
Tim setting diantaranya Faiq, Kuing, Ashar, dan Heri Boled — berhasil menjadikan panggung sebagai ruang realisme jenaka yang otentik. Sebelum pertunjukan dimulai, tiga penari dari Sanggar Seni Panginyongan, yakni Ama, Nurul, dan Amanda, membuka malam dengan tarian lengger simbolik yang menggambarkan gairah dan godaan dalam cinta.
“Penampilan dan sentuhan tata rias serta kostum menjadi kekuatan tersendiri,” ujar Lany dari Sanggar Seni Panginyongan yang menangani riasan para pemain.
Pertunjukan Gratis dan Nilai Seni Tetap Tinggi, menariknya, pementasan “GENDHAKAN” dibuka gratis untuk umum. Menurut tim produksi, hal ini merupakan wujud komitmen LARSENI Panginto untuk menghidupkan kembali minat masyarakat terhadap teater.
“Gratis bukan berarti murahan. Justru ini bentuk cinta kami pada seni dan penonton,” ungkap Bagus Satria, staf produksi.
Pertunjukan berdurasi dua jam itu ditutup dengan tepuk tangan panjang dari penonton yang terdiri atas pelajar, seniman, hingga masyarakat umum. “Lucu, tapi dalam,” ujar seorang penonton muda sambil tersenyum mengingat adegan favoritnya
Tentang LARSENI Panginto
LARSENI Panginto dikenal sebagai komunitas teater tubuh yang kerap mengangkat isu sosial dan budaya lokal dengan pendekatan eksperimental. Mereka memadukan gerak tubuh, dialog berlogat Banyumasan, musik tradisional, dan tari rakyat dalam satu kesatuan estetika.
“Kami percaya tubuh manusia adalah bahasa yang paling jujur,” kata Bador Kayu, menegaskan filosofi teater tubuh yang menjadi ciri khas komunitasnya.
Dengan karya “GENDHAKAN”, LARSENI dan Sanggar Seni Panginyongan membuktikan bahwa seni pertunjukan lokal masih hidup dan relevan, bahkan di tengah arus hiburan digital. Teater bukan sekadar tontonan — melainkan ruang temu, tawa, dan renungan bersama.
Red Djo)***


