Jakarta, LensaWarna.com – Kuasa hukum Abdul Jalali Daeng Nai, ahli waris Tjoddo, yakni Petrus Edy, SH, MH, CPLE, C. Med, dan Frans Parera, SH, kembali memberikan tanggapan tertulis atas pemberitaan di sejumlah media online, salah satunya adalah Lintaslima.com, terkait keterangan dari Legal Manager PT Inti Cakrawala Citra, Inriwan Widiarja, SH, pada 26 Mei 2023, perihal hak kepemilikan tanah di Kilometer 18, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, Sulawesi Selatan. Di lokasi itu, kini, telah berdiri bangunan Indogrosir, yang pada 22-25 Mei 2023 sempat ditutup paksa dengan timbunan batu gunung oleh Abdul Jalali Daeng Nai. Frans dan Petrus mengakui, bahwa memang benar penuturan Inriwan, ada empat putusan pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Peninjauan Kembali No. 551 PK/Pdt/2002 tanggal 29 Januari 2004, yang menetapkan ahli waris Tjonra Karaeng Tola sebagai pemilik tanah di Kilometer 18. Namun, tulis Frans dan Petrus, Inriwan seharusnya mengetahui juga, bahwa terbitnya empat putusan pengadilan itu, sesungguhnya terkait dengan aksi saling gugat antara Keluarga Tjonra Karaeng Tola, melawan Doktor Andrian Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali. Kuasa Hukum Ahli Waris Tjoddo Keterangan Legal Manager Indogrosir, Indriwan Widiarja, Naif dan Ambigu foto Istinewa Keluarga Tjonra Karaeng Tola, dalam hal ini tercatat diwakili oleh Haji Andi Mattoreang, alias Karaeng Ramma, adalah sosok di balik terusir paksanya Abdul Jalali Daeng Nai, ahli waris Tjoddo, dari tanah di Kilometer 18, dengan berbekal Surat Rintjik [Simana Boetaja] Nomor 157 Persil 6 D1 Kohir 51 C1. Tanah seluas 6,45 hektar di Persil 6 D1 memang tercatat atas nama Tjoddo. Namun, Kohir 51 C1 tercatat atas nama perempuan bernama Sia di Kilometer 17,” ucap Inriwan dalam siaran persnya, Jum’at (23/6). Kedua surat dari lokasi berbeda itu direkayasa Karaeng Ramma, guna melahirkan Surat Rintjik [Simana Boetaja] Nomor 157 Persil 6 D1 Kohir 51 C1 atas nama ayahnya, Tjonra Karaeng Tola, dan didudukkan paksa di tanah Kilometer 18 milik ahli waris Tjoddo. Sesuai Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen, Nomor Lab: 25/DTF/2001, yang diterbitkan Laboratorium Forensik Cabang Makassar pada November 2008, Surat Rintjik Nomor 157 Persil 6 D1 Kohir 51 C1 itu dinyatakan: “tidak sesuai dengan jenis kertas dan tinta penerbitan surat rintjik tersebut”, yakni pada tahun 1936. Atas dasar bukti “palsu” tersebut, maka pada 22 November 2010, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada anggota keluarga Tjonra Karaeng Tola. Pendudukan paksa atas tanah Kilometer 18 itu, kemudian dilakukan pula oleh Doktor Andrian Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali. Dengan menggunakan SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Gretha Warow dari Kilometer 20, ketiganya menerbitkan 281 SHM untuk 281 unit rumah, yang dibangun dalam sebuah kompleks perumahan di tanah Kilometer 18. Pendudukan paksa itu kemudian digugat oleh Karaeng Ramma, pelaku perampasan paksa pertama atas tanah di Kilometer 18. Hasilnya, dimenangkan oleh Karaeng Ramma, mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Peninjauan Kembali. Selanjutnya, muncul gugatan kedua, kali ini dari Reza Ali, terhadap Karaeng Ramma. Dan hasilnya, lagi-lagi Karaeng Ramma yang dimenangkan Hakim, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Peninjauan Kembali. Status sebagai “pemenang” di Pengadilan Negeri hingga Peninjauan Kembali ini, juga diperoleh Karaeng Ramma, saat digugat untuk ketiga kalinya oleh Achmad Reza Ali. Ringkasnya, tulis Frans dan Petrus, ada empat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap terkait perkara saling gugat diantara dua kubu tersebut. Pertama, Putusan Pengadilan Negeri No. 86/Pts.Pdt.G/1997/PN.Uj.Pdg, tanggal 7 Mei 1998. Kedua, Putusan Pengadilan Tinggi No.397/Pdt/1998/PT.Uj.Pdg, tanggal 20 Maret 1999. Ketiga, Putusan Mahkamah Agung RI No.3223 K/Pdt/1999, tanggal 13 Oktober 2000. Dan keempat, Putusan Peninjauan Kembali No. 551 PK/Pdt/2002, tanggal 29 Januari 2004. Seluruh putusan itu bukanlah perkara antara Keluarga Tjonra Karaeng Tola melawan ahli waris Tjoddo, melainkan perkara antara Dr. Andrian Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Ahmad Reza Ali, yang menggunakan SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Gretha Warow dari Kilometer 20, melawan Karaeng Ramma dan kerabatnya dari Keluarga Tjonra Karaeng Tola, yang memakai Surat Rintjik [Simana Boetaja] No.157, Persil 6 D1 Kohir 51 C1 dari Kilometer 17, yang sudah terbukti sebagai surat palsu. Berdasar seluruh fakta hukum tersebut, maka menurut Frans dan Petrus, adalah sangat naif dan ambigu, bila seluruh putusan hukum antara pihak-pihak yang berperkara dari Kilometer 17 dan Kilometer 20 tersebut, kemudian justru diletakkan di tanah Kilometer 18. Frans dan Petrus menilai, ahli waris Tjoddo, Abd Jalali Daeng Nai, sesungguhnya menjadi korban di tanahnya sendiri. Sebab, obyek yang diperebutkan dalam aksi saling gugat antara Keluarga Tjonra Karaeng Tola dengan Doktor Andrian Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali, adalah tanah yang sah milik Abdul Jalali Daeng Nai di Kilometer 18. Atas dasar itu, Frans dan Petrus pun meminta Inriwan Widiarja, selaku Legal Manager PT Inti Cakrawala Citra, untuk meluruskan keterangan yang telah disampaikannya pada 26 Mei 2023, dengan mengacu pada ilmu hukum yang berkeadilan, asas hukum equality before the law, serta menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana diamanahkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945. (Foto: istimewa, Teks: Edi Triyono) Post navigation Sutrisno Lukito Didesak Dan Diusut Tuntas oleh Komunitas Anti Mafia Tanah Masih Terjadi Saja Penyerobotan Tanah Di Indonesia Oleh Mafia Tanah